Tuesday, April 30, 2019

Buat Anak Kos


                Demi menempuh pendidikan atau bekerja di tempat yang sesuai dengan keinginan mereka, seseorang terkadang harus meninggalkan rumahnya dan merantau di tempat orang lain. Kalau mereka ini tinggal di rumah kos, maka status mereka pun berubah menjadi “anak kos”. Anak kos yang tinggal sendirian dan memiliki kebebasan umumnya sangat rentan dengan makanan-makanan yang kurang sehat. Hal itu mungkin saja terjadi karena sangat repot bagi seseorang yang tinggal sendirian untuk membeli dan atau memasak makanan sehat yang biasanya lebih mahal daripada makanan-makanan instan. Selain makanan, anak kos juga rentan akan kegiatan-kegiatan yang tidak baik bagi tubuh mereka, seperti begadang hingga akhirnya kurang tidur, jarang berolahraga, dll.

Image result for anak kos



               Dengan melihat fakta ini, kami dari kelompok 1 Creative Thinking tertarik untuk membuat suatu aplikasi yang dapat membantu anak kos untuk hidup dengan lebih sehat. Aplikasi ini rencananya akan memiliki fitur seperti jam tidur yang sehat, tempat yang menjual makanan yang sehat dan murah, rekomendasi kegiatan olahraga yang mudah dilakukan oleh anak kos, dll. Aplikasi ini dibuat secocok mungkin dengan keadaan anak kos yang memiliki dana yang terbatas :D

Media Iklan yang Digunakan
                Dengan memerhatikan bahwa target audience-nya adalah anak kos yang kira-kira sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi dan adalah generasi milenial (pengguna aktif Smartphone dan kerap menggunakan aplikasi ojek online ), maka iklan rencananya akan dipasang di media-media sosial yang sering digunakan oleh anak muda milenial seperti Facebook, Twitter, Instagram, juga Youtube. Berhubung anak kos juga identik dengan kegiatan shopping, iklan juga akan dipasang di baliho-baliho setempat dekat dengan kedai atau mall yang mungkin akan dikunjungi oleh anak kos.



Sumber Gambar : Google.com

Tuesday, April 23, 2019

Ethics in Creativity?


Etika secara umum adalah tentang baik atau buruk, benar atau salah suatu pemahaman atau tindakan tertentu. Ada pihak yang mengatakan kalau hal tersebut sangat personal. Sebenarnya apa yang disebut sebagai baik atau benar? Tentu pemahaman akan hal tersebut berbeda antara satu orang dengan orang lainnya bergantung kepada latar belakang mereka, konteksnya, dll. Namun ada juga yang mengatakan kalau terdapat etika yang sifatnya universal.  Misalnya seperti jangan membunuh, jangan mencuri, dll.

Image result for jangan membunuh gif     Image result for swiper don't swipe gif


Kalau begitu, apakah etika membatasi pikiran kreatif manusia? Suatu hal yang dianggap kreatif adalah ketika hal tersebut bersifat baru, inovatif, dan bermanfaat bagi kelompok masyarakat sasarannya. Dengan demikian, apakah produk kreatif seseorang mesti memenuhi etika yang berlaku?

Padahal terdapat juga produk kreatif yang sangat solutif untuk masyarakat, namun berpotensi melanggar etika yang selama ini sudah berlaku.

Disaat seperti ini, bagaimana masyarakat memutuskan keberlakuan produk kreatif tersebut?

Tidak ada yang dapat membatasi seseorang dalam berpikir, kecuali diri mereka sendiri dengan nilai dan prinsip yang mereka anut. Nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat mungkin terkesan kaku dan sulit berubah. Namun, nilai-nilai yang berlaku itu pun bukan berarti sama sekali tidak berubah. Kalau aku diberi izin untuk berpendapat (yang tentu saja boleh karena Ratu Gabut adalah blogku :D), etika memang berpotensi membatasi eksekusi dari proses kreatif seseorang. Tidak akan ada suatu pemikiran kreatif terhadap suatu hal yang tidak membutuhkan solusi, artinya suatu hal yang sudah ada dan memenuhi etika masyarakat yang berlaku ternyata belum sepenuhnya memberikan kepuasan terhadap seluruh anggota masyarakat tersebut. Masih ditemukan masalah, dan masalah menghadirkan pemikiran untuk memecahkannya secara efektif dan efisien.


Image result for everything has changed gif


Aku setuju dengan betapa pentingnya anggota masyarakat untuk memahami dan melaksanakan etika yang berlaku, namun aku juga setuju kalau masyarakat dan etika itu berkembang sesuai perubahan zaman. Apa yang dahulu tidak ada / dilarang sekarang toh dilaksanakan juga, seperti perempuan yang dulu tidak boleh sekolah, Youtube yang perlahan menggantikan televisi, e-mail yang juga menggantikan surat-menyurat, dll. Sekaku apapun suatu etika, tetap saja tidak ada yang bisa menolak perubahan zaman.

Oleh karena itu, pelaku-pelaku kreatif yang dianggap melanggar etika tidak perlu rendah diri dulu. Asal memang memberi manfaat bagi banyak orang dan tidak melanggar HAM, produk kreatif tersebut (yang belum diterima masyarakat) mungkin saja akan diterima nantinya. Boleh saja target sasarannya dipikirkan kembali, atau dilakukan suatu inovasi lagi agar masyarakat merasa nyaman untuk menggunakan produk tersebut.


Para pelaku sejarah adalah para pemberontak yang kreatif :D


Image result for pemberontak gif

Sumber gambar : Google.com





Friday, April 12, 2019

Stakeholder Media


            Istilah Stakeholder, atau dalam pengertian umumnya adalah pihak pemangku kepentingan, sudah banyak digunakan dalam berbagai bidang seperti bisnis, media, politik, dll. Dalam seminar yang aku hadiri kemarin, mereka membahas tentang Stakeholder pada media. Kita tahu bahwa media massa didirikan dengan tujuan untuk melayani kepentingan publik dalam hal berita / informasi. Namun bagaimana bila terdapat pihak yang “mengendalikan” pemberian informasi tersebut, yang dimana adalah para pemilik media, demi kepentingan mereka sendiri? Bukankah hal ini adalah pelanggaran pada kaidah dan kode etik jurnalisme?

Image result for stakeholder

            Berikut merupakan rangkuman dari tiga tokoh yang menjadi narasumber dalam seminar Pekan Komunikasi Universitas Indonesia yang diadakan pada tanggal 10 April 2019 di Balai Sidang Universitas Indonesia dengan judul Stakeholder Media and It’s Impact on Polarization in the Digital Era sesi yang pertama.



            Salah satu hal yang penting pada jurnalisme adalah setia pada fakta. Meskipun bukan media konvensional seperti koran, tv, dll, bila informasi yang disampaikan oleh Vice maupun Watchdoc adalah fakta, mereka lolos pasal pertama jurnalisme. Kalau itu karya jurnalistik, maka prinsip verifikasi pun harus ada. . Sekarang ini, justru banyak media massa malah menjadi follower media sosial. Mereka sudah tahu itu keliru, namun isu tersebut masih saja dikutip / dibahas. Masyarakat Indonesia masih lemah dalam melakukan verifikasi, apalagi kalau berurusan dengan media sosial. Apakah media sosial memperkaya atau malah memiskinkan kita karena hanya berkomunikasi dengan orang yg sepaham dengan kita?

            Mari kita renungkan bersama :) :) :)